Sabtu, 07 Januari 2012

Revisi cerpen

Holla guys! Sahabat gua baru aja menyelesaikan revisi cerpen yang sesuai dengan kisah nyata kehidupan dia. Dia menambahkan beberapa percakapan dan mengganti nama tokohnya. Penasaran? Yuk baca!

Dan Pasir pun Berbisik
   Kami  berdua berjalan di antara pasir Pantai Senggigi. Pantai yang terletak di Pulau Lombok serta terkenal karena keindahannya. Aku dan dia, sahabatku. Terkadang kami berjalan bersama di antara riak awan atau menyelam jauh ke dasar samudera. Kami melakukan itu hanya untuk satu hal, berbicara.
            Aku Nikratama Satria Taura, seorang laki-laki yang biasa dipanggil ‘Niki’ dan memiliki sahabat yang begitu berarti. Sahabat yang selalu menemaniku saat diriku terbang ataupun tenggelam. Saat aku berdiri ataupun terjatuh. Sahabatku, Tania. Sistania Putri Indira.
            Sore itu langit cerah. Sore pantai tidak terasa panas. Hembusan angin sepoi-sepoi mengibarkan ujung-ujung baju kami berdua. Diantara riak ombak kami berjalan bersama tanpa memakai alas kaki. Begitu terasa di kulit-kulit saraf bagaimana deburan ombak menggelitik.
            “Bagaimana?” Tania membuka pembicaraan.
            “Apanya yang bagaimana?” Tanya aku tak mengerti.
            Melihat reaksiku, Tania hanya terkekeh.
            “Bagaimana dengan Vio, seseorang yang ada di sini.” ucapnya sembari menepuk dadaku.
            Ah, akhirnya aku mengerti arah pembicaraannya.
            “Vio? Violista Thalita Adrianna maksudmu? Entahlah.” Jawab ku datar.
            “Ya, tentu saja. Apa panggilanmu untuknya? Biasanya kamu memanggilnya dengan sebutan khas.”
            “hah?” aku setengah terkejut, pecah dalam lamunan.
            “Iya, apa panggilanmu untuknya?” Tanya Tania lagi.
            “Aurora. Aku  biasa memanggilnnya dengan sebutan itu karena ia menyukai tokoh putri Aurora dalam dongeng itu.” Jawab ku.
            “Aurora…… nama yang indah” Ujar Tania
            “Bagaimana hubungan kalian? Sudah ada peningkatan? Sudah kah kau bicara pada nya? Apakah kalian seperti dulu lagi?” Tanya Tania bertubi-tubi.
            Aku terdiam. Kecut. Andai Tania mengerti apa yang berkecamuk di dalam hati ku.
            “Terkadang aku melihat jika kamu membicarakan Vio, ekspresimu begitu serius. Dari binar mata mu, aku dapat melihat tersimpan cinta yang begitu hangat mengalir lembut. Tanpa kau sadari, kamu menjadi begitu hidup saat mengingatnya.” Ujar Tania lagi.
            Aku semakin kecut.
            “Vio tidak mencintaiku.” Kataku datar.
            Aku melirik Tania sesaat. Sepertinya dia terkejut dengan apa yang ku ucapkan tadi.
            “Vio tidak mencintaimu?” Tanya Tania menegaskan.
            “Iya.” Jawabku mencoba menahan diri. Terlalu perih hati ini, amat sangat memilukan.
            “Darimana kamu mengambil kesimpulan seperti itu? Mungkin kamu salah duga.”
            “Dia memang tidak mencintaiku!” Jawab ku agak membentak. Ketus.
            Dia terdiam. Aku juga terdiam. Mungkin Tania ingin mengambil jeda sejenak agar aku mampu mengontrol diri. Sepertinya dia mengerti ada sedikit ekspresi kemarahan dalam ucapan terakhirku tadi.
            “Dulu kamu juga pernah patah hati kan?” Tania mencoba memecah keheningan sesaat tadi.
           
            “Dulu saat kamu patah hati tak pernah ada ekspresi kemarahan seperti ini. Dulu kamu tersenyum saat patah hati itu. Saat hatimu patah karena mantanmu, Ariana kan? Sepertinya itu bukan suatu hal yang besar. Namun mengapa sekarang berbeda? Apakah Aurora ini terlalu special?” Ucap Tania panjang lebar.
            Aku tetap diam. Rasanya diam cukup untuk memberikan semua jawaban yang dia inginkan.
            “Dia mengacuhkanku.” Kali ini aku yang mencoba membuka pembicaraan.
            “Mengacuhkan mu?” Tanya Tania tak mengerti.
            “Iya.” Jawabku sekana.
            Kami kembali diam untuk beberapa saat.
            “Dulu dia pernah berkata bila dia tidak bicara duluan berarti dia tidak memberikan harapan. Sekarang dia lebih memilih berbicara dengan pria yang baru hadir di hidupnya dan mengacuhkanku.” Aku kembali mencoba membuka pembicaraan.
            “Ada begitu banyak pria yang mencintainya.  Diantara mereka bahkan lebih baik dari ku. Pasti salah satu dari pria-pria itu telah memikat hatinya. Pasti.” Lanjutku lagi.
            “Siapa namanya, Nik? Nama pria yang Vio Cintai itu.” Tania bertanya.
            “Azriel. Azriel Syailendra Abin.”
            “Kamu cemburu?” Tanya sahabatku itu sambil tersenyum.
            Aku menunduk. Diam.
            “Kini Vio terlah berubah. Mungkin dulu dia mencoba untuk mencintaiku namun sepertinya hasilnya sama saja. Dia tidak pernah bisa mencintaiku. Tidak pernah mampu.” Aku membela diri.
            “Dari dulu mungkin itu cuma bagian dari simpatinya. Mungkin Vio hanya kasihan denganku yang begitu menyedihkan.” Lanjutku lagi.
            ”Dan sekarang aku menjadi sangat mencintainya.” Tak kuat aku menahannya, kini air mata ini mengalir.
            Sahabatku menepuk pundak ku. Mungkin sedikit mencoba memberi ketabahan.
            “Lelaki itu harus kuat. Kamu orang paling tegar yang pernah aku temui.” Katanya lembut.
            “Tegar? Dari mana kau menyimpulkan kalau aku ini tegar?” Ucap ku tak mengerti.
            “Ya, tegar. Jika kau tidak tegar, tidak mungkin kamu tetap mencintai Vio seperti ini padahal kamu telah disakiti nya. Meskipun hati mu telah dihancurkan berkeping-keping namun kau masih mencintainya denga kepingan yang tersisa. Kamu sangat mencintainya kan?” Ujar Tania seperti memberi penjelasan.
            “Kami pun kemudian duduk mengahadap lautan. Ombak deru-menderu saling menyerbu, sikut-menyikut membantai pasir pantai.
            “Kamu akan meninggalkannya?” Tiba-tiba Tania memecah keheningan.
            “Ya, mungkin. Namun bukan karena aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya takut dia tidak bahagia jika terus bersamaku. Karena untuk Vio, Azriel lebih sempurna.” Jawab ku.
            Ombak-ombak saling beradu dan buih-buihpun tertumbuh dari bibir pantai yang terluka. Lutut ku kuangkat hingga saling tertaut. Tanganku ku lingkarkan diantara tulang kering mencoba membalut lutut.
            “Dulu aku jatuh bangun untuk mendapat tempat di hati nya. Untuk mendapat perhatiannya. Begitu lama waktu yang kuhabiskan untuknya. Namun mengapa Vio lebih memilih Azriel yang tiba-tiba hadir di hidupnya? Apa Vio tidak bisa menghargai perjuanganku? Ini tidak adil, Tania. Sungguh tidak adil.” Ucapku penuh emosi.
            “Hidup memang kadang tidak adil, Nik. Kau harus mulai belajar menerimanya. Apalagi ini juga untuk kebahagiaan Vio.” Jawab Tania tenang.
            Aku hanya tersenyum.
            “Aku sadar sebenarnya bukan hanya aku yang terluka. Aku yakin bahwa sebenarnya Vio pun memiliki luka yang disebabkan oleh ku.” Ujar ku.
            “Aku juga yakin akan hal itu. Dia pasti juga punya luka. Tapi aku juga yakin dia tidak tau betapa hancurnya kau saat ini. betapa kau masih mencintainya. Bagaimana kau masih mengawasi dan menjaganya. Aku tau kau masih begitu menjaganya, Nik.” Tania membalas ucapanku.
            Aku terkejut.
            “Dari mana kau tau aku masih mengawasi bahkan menjaganya?”
            “Aku tau semua hal tentang mu.” Jawab Tania sembari tersenyum.
            “Kadang aku berfikir, tindakannya mengacuhkanku adalah suatu pesan agar aku menjauh darinya. Mungkin itu adalah pesan bahwa sudah tak ada harapan lagi bagi ku untuk mendapatkannya. Pesan agar aku meninggalkannya.” Aku mencoba berargumen.
            “Bisa jadi.” Jawab Tania singkat.
            “Dia sudah mulai berbicara duluan kepada Azriel. Apa mungkin dia telah member Azriel harapan? Mungkin Vio telah mampu mencintai Azriel.” Pikiran ku melayang membayangkan.
            “Apa kau masih mengejarnya?” Tania kembali bicara.
            “Entahlah. Kini aku rela melepasnya untuk bersama Azriel. Bahkan aku pun ikut membantu Azriel agar bisa mendapatkan Vio. Aku melakukannya karena aku tau bahwa Azriel yang bisa membahagiakannya, bukan aku.” Jawab ku sambil menatap riak ombak.
            Tania hanya terdiam. Dia menatapku dengan iba.
            Aku tersenyum kecil lalu menatap laut dengan pandangan kosong. Pandangan yang lirih.
            “Kenapa Vio bisa melukai ku sejauh ini?” Tanya ku pelan.
            “Nik, seseorang yang paling kamu cintai adalah seseorang yang bisa menyakitimu paling dalam. Kamu tau itu kan?” Ujar Tania.
            “Ya aku tau itu.”
            “Mungkin lebih baik mulai sekarang kamu belajar melupakannya sebelum kamu benar-benar menjadi mati.” Tiba-tiba saja Tania berkata demikian.
            “Apa aku sanggup?” Tanya ku ragu.
            “Lalu apa dengan mengingatnya kamu menjadi lebih baik daripada sekarang? Kamu akan menjadi semakin hancur. Bukankah dengan ini berarti telah tiga kali dia menghancurkan hatimu? Sadar Nik.” Tania berkata tegas.
            “Aku masih mengingat semua tanggal yang berarti untuk ku. Tanggal yang berarti karena ada Vio di dalamnya. Aku tak pernah bisa melupakan apapun tentang Vio. Bahkan, aku masih ingat seluruh kata yang terucap dari mulutnya.” Aku berkata. Meramaikan gemuruh ombak.
            “Nik, yang kau ingat itu bukan tanggal melainkan kenangan. Seluruh kata-katanya tidak terekam di otak mu tetapi membekas di sini.” Ucap Tania sambil menunjuk dada ku.
            “Di hati kecilmu.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum.
            Perih. Teramat perih hati ini. Bahkan berjuta belati yang menyayat jantung terasa lebih indah daripada harus merasakan perih seperti ini. Andai Vio tau betapa aku mencintainya…
            “Nik, apa kamu meragukan ada pria di balik sana yang mampu membahagiakannya? Apa kamu terlalu takut Vio akan kembali meneteskan air mata? Apa kamu ingin agar episode antara kau dan dia tidak terulang pada nya?” Tania menghujami ku dengan pertanyaan.
            “Bukankah dulu kamu pernah berkata bahwa yang kamu inginkan adalah yang terbaik baginya? Kamu ingin membahagiakannya meskipun kau tida termasuk di dalam kebahagiaannya itu. Mungkin bagi Vio kamu bukanlah sosok yang terbaik. Mungkin dia telah menemukan seseorang yang terbaik bagi dirinya. Mungkin dia telah menemukan labuhan hatinya. Ya, dia telah menemukan Azriel, seseorang yang bisa dia cintai.” Lanjut Tania lagi.
           
            Violista Thalita Adrianna…….
            Aku hanya ingin menjadi manusia di belakangmu.
            Saat dirimu kelelahan, aku menyodorkan bahu ku padamu.
            Saat dirimu berjalan, aku menatapmu mengawasi.
            Saat engkau ketakutan, aku akan datang menjaga mu.
            Aku tak ingin menjadi yang di depan yang terus engkau tatap.
            Cukup hanya bayang mu bagiku, tak pernah ku meminta lebih.
            Hanya agar engkau bahagia dan terus tersenyum.
            Tak peduli pria apa di depanmu yang engkau ikuti.
            Aku akan setia menjagamu meski tanpa pernah engaku sadar.
            Tak ingin ku melihatmu meneteskan air mata kesedihan.
            Cukup satu senyuman untuk masa yang abadi.
           
            “Tan, tahukah kamu di rumah Vio sering mati lampu?” Tanya ku tiba-tiba.
            “Tidak, aku tidak tau. Kenapa?” Tania bertanya tak mengerti.
            “Vio takut gelap. Terkadang saat kegelapan itu terjadi aku ingin berada di sampingnya. Ingin ku genggam tangannya agar dia mengerti ada seseorang di sampingnya yang selalu menjaganya. Agar sirna takutnya diganti ketenangan.” Jawab ku.
            Sahabat ku itu tersenyum.
            “Kamu sangat mencintainya. Aku bisa melihat hal itu dari matamu. Bahkan kamu terlalu mencintainya.” Tania berkata pada ku.
            “Ya, terlalu mencintainya.” Ucapku pelan.
            Tiba-tiba sahabatku itu berdiri.
            “Nik! Kita pulang yuk.” Ajak Tania setelah bangkit dari duduknya.
            Aku menatap ke arahnya, lalu ke arah langit. Ternyata matahari telah hendak kembali ke labuhannya. Langit memerah jingga dan kumpulan burung terbang hendak kembali pulang.
            “Tan, apa kau tau Vio juga menyukai pantai? Ingin rasanya aku mengajaknya ke pantai ini untuk menunjukan betapa indahnya langit sore di Pantai Senggigi ini. Aku hanya ingin membuat Vio tersenyum. Hanya itu.” Ucap ku sembari menatap langit jingga.
            “Nik, bersabarlah. Berdoa agar Allah memberi kisah yang terbaik bagi kamu dan dirinya.” Ucap Tania mencoba memberi semangat.
            “Seandainya Vio harus bersama Azriel ataupun orang lain, biar lah aku tetap disini melihat senyum nya walaupun dari kejauhan.” Ucapku sambil meneteskan air mata di hadapan gemuruh pantai.
            Tania menatapku seakan tau apa yang ku rasakan. Dia tersenyum. Ombak-ombak lautan terus menderu tak mengenal rasa kalah. Pagi-siang-sore-malam. Dan pasir-pasir terus tergerus oleh laut yang ingin mengabrasi.
            “Nik! Tau kah kamu bahwa pasir-pasir ini bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang tidak kita pahami? Juga lautan, angin sepoi-sepoi dan langit yang indah itu terus mengagungkan nama Allah tanpa henti.” Ucap Tania tiba-tiba membuka suara.
            “Ya, aku tau itu. Bahkan aku mendengar pasir-pasir berbisik sesama mereka saling meminta agar Allah kuatkan diriku dan menata kisah terbaik untuk aku dan Vio.” Balasku tenang.
            “Pasir-pasir berbisik?” Tania berkata dengan nada penuh heran.
            “Ya, Tania. Dan pasir pun berbisik…” Jawabku lirih.



-SELESAI-



Cerpen ini merupakan revisi dari sebuah blog lain. Mau lihat versi aslinya?  Klik disini




Tidak ada komentar:

Posting Komentar